“Niat sekali kau menantang maut anak muda.” Kata bapak setengah baya kepada Yusuf. Nama aslinya Muhamruddin, biasa dipanggil Pak Ham. Mendengar ucap bapak itu Yusuf menarik nafas tinggi.
“Daripada di Jakarta saya hanya jadi perusuh sejati.”
Katanya tersenyum.
“Bagus, berarti modalmu kesini modal nekat dan hobi
berontak dong?” kata Pak Ham terseyum menyengir
kepada Yusuf.
“Hahaha tapi kali ini tanpa dosa, Pak!”
“Astaga, ada-ada saja kamu ini.”
Yusuf dan bapak itu
terlibat perbincangan yang lumayan panjang, hingga adzan maghrib mengalun
disepanjang lintas kota.
***
Imam dihadapan Yusuf telah
mengumandangkan adzan menyusul adzan-adzan sebelumnya. Sedangkan Yusuf masih
terduduk ditengah-tengah relawan lain yang jauh lebih tua darinya.
“ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR ASHADUANLA ILLAHAILLALLAH….” Suara
iqomah mengharuskan Yusuf bangun dari pelepasan penatnya, ia pun berdiri disaf
paling belakang di samping kiri. Jama’ah-jama’ah yang taat diantara Yusuf
memosisikan diri dan meregangkan tubuh sejenak. Sedangkan Yusuf hanya menoleh
kiri kanan memperhatikan sikap jama’ah-jama’ah disekitarnya. Namun tiba-tiba
“DUUUAAAR……….” Suara dentuman hebat membuyarkan konsentrasi
para jama’ah yang baru saja mengucap kalimat suci, Allahuakbar. Sontak saja
semua yang ada dalam ruangan itu dengan perasaan cemas keluar segera. Terlihat
kabut hitam nan tebal dibalik langit yang seperempat menggelap.
“Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar!!!” Teriakkan
kalimat suci menggema disudut kota. Terlihat Yusuf yang bergegas menghampiri
sumber suara ledakan dan kabut hitam itu, dan mungkin kali pertama baginya
melihat puluhan manusia terkapar diantara puing-puing bangunan dengan darah
yang terkucur dari tubuh mereka.
“Allahuakkbar… Ya Allah…” suara wanita lirih disampingnya,Yusuf
terbangun dari tatapnya yang semu melihat kejadian dihadapan matanya. Ia
kemudian membungkukan badan dan mengangkat wanita itu ke ruang penampungan
korban. Satu persatu korban diangkat olehnya dan relawan Indonesia yang lain.
Terdapat sekitar 6 korban luka ringan yang ditampung dan dirawat oleh
relawan-relawan Indonesia, dan belum diketahui berapa korban meninggal dan luka
berat.
“Yusuf, rawatlah wanita itu.” Ucap Pak Ham memerintah Yusuf
yang sedang mengurusi obat-obatan.
“Mengapa mesti saya, Pak. Lagian pula dia udah mau sadar
kok kayaknya,” komentanya sembari menoleh ke wanita berjilbab yang ia tolong
tadi.
“Jadi relawan itu bukan hal lembek. Rawatlah dia karena dia
satu-satunya wanita yang kita selamatkan. Lagipula kamu yang paling muda
diantara kami.”
Mendengar katanya yang
terakhir Yusuf sempat membingung dan terdian sesaat, namun dia tak temukan
maksudnya dan ia hanya menghembuskan nafas panjang, tanda menyerah akan keadaan
dan sebagai kewajiban yang mulia. Yusuf pun kemudian duduk disamping wanita
berjilbab itu dan mengoleskan hidungnya sedikit balsam.
“Kali aja dengan balsam ini cewe ini bisa siuman, karena
aku sesungguhnya tak tau obat mana yang tepat, hehe.” Guraunya dalam hati.
***
Pagi pertama Yusuf berada di kota yang penuh gejolak ini.
Tidur malamnya tak begitu tenang, ada rasa was-was yang sekilas menghantui
jiwanya, takut akan serangan tiba-tiba dan ia membayangkan apabila tak lagi
pulang ke kampung halamannya.
“Alhamdulillah…” ucapnya bersyukur mengusap wajah. Yusuf
segera bangkit dan bergegas menghampiri pasien berjilbabnya. Terlihat wanita
itu masih terbaring, Yusuf memperhatikan wanita itu dengan pandang yang
berbeda, tanpa ia sadari bahwa relawan-relawan yang lebih tua darinya
memperhatikan tingkahnya.
“Tidakkah kau solat subuh, Yusuf?” Pak Ham bertanya
ditengah kesibukannya mengurus obat-obatan.
“Hem,,, aku tak begitu biasa subuhan, Pak!” Katanya begitu
tenang sembari duduk disamping wanita itu.
“Biasakanlah!” suara peras dan lembut menyambung percakapan
antara Yusuf dan Pak Ham.
“Kau? Sudahkah kau sadar? Hemm, bisa bahasa Indonesia?
Dirimu?” Tanya Yusuf terputus-putus sedikit terkaget dengan wanita berjilbab
itu.
“Tak perlu ku jawab, solatlah!” katanya terus menyuruh
Yusuf untuk solat, bibirnya yang manis tersenyum bersahabat kepada Yusuf.
Karena Yusuf orangnya tak mau terlalu banyak mendengar kata perintah, ia pun
menyerah dan segera berwudhu kemudian solat.
Seusainya Yusuf kembali menemui wanita itu. Wanita itu
membuat ia penasaran. Ia mendapati wanita berjilbab itu sedang berdiri
mengurusi makanan.
“Alhamdulillah…” gumamnya dalam hati melihat kesembuhan
wanita yang ia tolong kemarin.
“Makanan buat apa itu?” Yusuf mendekatinya namun tak ada
jawab dari wanita itu. Ia tetap sibuk dengan urusannya.
“Huh…!” Desah Yusuf sedikit jengkel.
“Namamu siapa?” Yusuf kembali bertanya, namun lagi-lagi tak
ada jawaban. Ia sibuk mengagkat satu per satu baki berisi makanan di meja obat.
Padahal dalam hati Yusuf sangat mengharapkan jawabannya dan mengharapkan
suaranya yang lembut menjawab segala Tanya Yusuf.
“Namaku Khalizhah Azhara Arini Widiantoro.” Dengan
tiba-tiba ia menghampiri Dengan
tiba-tiba ia menghampiri Yusuf yang tiada henti membidikkan pandang padanya.
Mendengar nama wanita itu, Yusuf menaikkan sebelah alis matanya. Wanita itu
malah terkekeh melihat respond Yusuf.
“Heh,, panggil saja aku Izah.” Sambung wanita itu.
“Aku Yusuf.” Katanya mengulurkan tanganny. Namun jauh dari
harapan wanita itu pergi begitu saja dari hadapannya.
“Anak muda..” Kata Pak Ham menggelengkan kepalanya sembari
tersenyum.
***
Yusuf terlihat berbunga-bunga, terbukti sedari tadi ia
tersenyum tanpa kejelasan di bibir pintu kamar korban gejolak kemarin. Sedari
tadi ia melirik gerak-gerik Izah, sepertinya Yusuf benar-benar menyimpan rasa
kepadanya.
“Kenapa dari tadi kau memperhatikanku? Apa ada yang aneh
dariku? Apakah kiramu baik relawan terdiam tersenyum dibibir pintu?”
“O… Oh sorry, tidak, tidak ada yang aneh. Hemm apa kamu
relawan?” Yusuf terbatah akan komentar Izah yang lumayan pedas.
“Bisa dibilang, sejak dari dua tahun yang lalu aku sudah
berada disini. Aku kira kemarin aku akan mati. Dan sejak kemarin bertanya
tentang keberadaan anakku.” Katanya tertunduk.
“Anak? Kau punya anak? Yusuf terkejut mendengar kata yang
diucap Izah, dia kira Izah masihlah gadis.
“Heh,, maksudku anak angkatku, dia yatim piatu makanya aku
angkat. Jangan kau fikir ku sudah puunya suami.” Jelas Izah sedikit terkekeh.
“Huh, ku kira.” Yusuf menghembus nafas tenang. Izah malah
menggelengkan kepala. Yusuf tak menyangka segitu baik wanita yang dianggapnya cuek itu. Dari perbincangan itu, hati
Yusuf kian mengguncang, ada rasa yang berbeda dalam hatinya akan Izah.
Mereka kembali menyelesaikan tugas masing-masing, seusainya
barulah mereka memilih untuk duduk di kursi panjang di teras sejenak. Izah
menjaga jarak duduknya dengan Yusuf. Wanita berjilbab itu mungkin terlalu lugu
dimata Yusuf, karena Yusuf tak begitu mengerti aturan agama. Yusuf melirik
jarak duduk antara dia dan Izah. Kemudian menunduk sedikit kecewa. Tapi Izah
tak henti terkekeh melihat tingkah Yusuf yang seperti anak SMP yang baru jatuh
cinta, malah ntah sudah berapa gelengan kepala Izah karena sikap laki-laki
disampingnya yang menggelitiknya.
“Yusuf… Yusuf…” cetusnya menggelengkan kepala.
“Kenapa aku, Mbak?” Yusuf bingung
“Apa katamu? Mbak?” Izah membelalakang mata.
“Iya mbak, kenapa? Umurku pasti lebih dewasa dariku, ya
kan? Umurku masih 18.”
“Hahah aku masih 17 tahun. Hayooo tuaan siapa? Kata Izah
sedikit mengejeknya.
“Ha? Apa? Tapi ku lihat sikapmu jauh lebih dewasa daripada
aku.”
“Karenna kau lahir dari keluarga yang senang.” Izah sedikit
menyindir.
“Keluarga? mereka sibuk, maka dari itu aku jadi wong berandalan, dan itulah titik
kebahagiaanku.”
“kalau kau disini atas kemauan sendiri kan? Aku dipaksa
dari bapakku ke sini, dia mau tau seberapa jagonya aku kalo udah ngadepin
tentara Israel, karena aku selalu mempermalukan orangtuaku, jadi biangkerok di
kampong dan jadi provokator tawuran.” Jelasnya tak mau kalah. Mendengar cerita
Izah tentang dirinya sendiri Yusuf meneguk liurnya. Namun setelah itu rasa
didada Yusuf semangkin bertalu-talu dan berapa lama sudah rapa lama sudah Yusuf
mencari wanita yang bersifat seperti Izah.
“Oh Ya Allah, untuk pertama kali hamba-Mu yang bodoh ini
merasakan getaran cinta, izinkan aku mencintai wanita ini Ya Allah, dan berikan
kekuatan kepadaku untuk menyatakan rasaku inii padanya. Sunnguh aku tak berdaya
tanpa campur tangan-Mu Ya Allah Yang Maha Cinta.” Do’anya dalam hati. Yusuf
sejenak terbungkam dalam senyumannya seehingga baru ia sadari bahwa ada
serangan Israel di perumahan tak jauh dari tempat mereka. Disekitar penampungan
korban memang paling rawan akan serangan.
Perempuan berjilbab itu spontan berlari, dengan mengangkat
sedikit roknya untuk mempermudah diri berlari. Sontak saja Yusuf yang sedang
dalam setengah sadar terkejut dan segera menyusul Izah. Terlihat sudah berpuluh
pemuda Palestina berucap,
“Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.” Dengan lantangnya
dengan semangat yang menggebu.
“Hey Izah!!! Jangan menantang maut!!! Kau masih muda.”
Teriak Yusuf ditengah kegaduhan
“Tak usah kau banyak bicara , aku begini dijalan-Nya, bukan
seperti yang ku katakan tadi.” Teriak Izah nyaring. Yusuf hanya mengalah dan
membuntuti geraknya, karena ia bingung apa yang kan ia lakukan, karena ini
adalah kali pertama ia melihat gejolak yang segini parahnya. Terlihat Izah
mengangkat anak-anak dalam perumahan itu satu
persatu, dibawanya ke tempat pembuangan akhir dibelakang perumaha itu.
Yusuf membantunya dengan perasaan was-was hingga sekitar 6 anak berhasil mereka
selamatkan, dan 2 anak lagi sedang mereka gendong, namun sayangnya aksi baik mereka dipergok tentara berseragam
dan bersenjata Israel. Izah dengan keras memukul tentara itu begitupula Yusuf,
tapi apadaya mereka hanya berdua dan tak membawa sepatahan jarumpun, sedangkan
tentara itu berjumlah 5 orang dan bersenjata api. Akhirnya Yusuf dan Izahpun
dibidikkan oleh mereka dengan senjata aoi tepat di depan dada mereka.
“Mungkin ku kan habis hari ini, Izah. Semoga kau selamat.”
Ucap Yusuf lirik setengah berbisik. Karena tentara itu tak miliki persaan
kemanusiaan sama sekali Yusuf dan Izah ditembak secara bersamaan,kemudian
mereka melacak dimana anak-anak disembunyikan.
Yusuf dan Izah tumbang,
terbaring dengan darah yang kian mengucur, air mata mereka saling tertepik.
“Izah, de.. dengar aku.” Ucap Yusuf terbatah menahan perih.
Tangannya mendekap pelan tangan Izah yang terkulai lemas.
“Apabila nafasku tinggallah disini,…” sejenak ia terdiam
“Izah, sejujurnya aku menyimpan rasa denganmu, aku
mencintaimu.” Jelas Yusuf lirih, matanya tak henti mengedep menahan sakit.
Mendengar ucapan Izah menolehkan
wajahnya kearah Yusuf dan menatapnya lembut. Senyumnya yang berat masih
tersirat dan seakan dipersembahkannya hanya untuk lelaki itu seorang.
“Izinkan aku mencintaimu, Izah. Hanya un.. untuk satu menit
ini.” Suaranya kian melemah.
“Ku harap kau bisa menganggapmu sebagai lelaki yang pernah mencintaimu
seuumur hidup.” Sejenak ia menarik nafas untuk kata-kata berikutnya.
“Semoga suatu saat nanti Allah mempertemukan kita, sayang.”
Inilah kata terakhirnya . Yusuf tak lagi bernyawa,
Di Palestina yang penuh gejolak dan penuh duka
untuk pertama kali Yusuf mencintai seorang wanita. Ia tak lagi bisa
diselamatkan, namun Alhamdulillah Izah masih bisa sadar setelah 2 hari tertidur
setelah kejadian itu.
“Cinta,
bilamana ku tahu tak mesti ku miliki insannya, namun jiwanya kan selalu ada
untukku. Tak banyak kisah yang kita lalui, namun saat terakhirnya membuatku
menyadari arti besar dalam cinta. Dan Ya Allah Yang Maha Cinta, sebagaimana kau
mencintai umat-Mu, semoga suatu saat nanti kau mempertemukan aku dan ia di
surga-Mu yang indah.” Gumam lirihnya dalam hati, terkenang kisah singkatnya
bersama sang kekasih hati, Yusuf. Namun semenjak kehadiran dan kepergian Yusuf
dalam hidupnya, Izah semakin bersemangat berjihad dijalan-Nya dengan hati yang
selalu berharap agar bisa dipertemukan dengan kekasih seumur hidupnya.
______________TAMAT_________________
0 komentar:
Posting Komentar